Mungkin J.K. Rowling tidak pernah berpikir sebelumnya jika hasil karya ‘Harry Potter-nya’ begitu fenomenal.
Euforia Harry Potter memang melanda di mana-mana, edisi filmnya pun selalu ditunggu oleh para penggemarnya yang rela antri hanya untuk mendapatkan tiket. Tidak ada yang berpikir, bahkan Rowling sekalipun, jika buku ini akan digemari oleh anak-anak. Sebab awalnya ditujukan untuk orang dewasa. Lihat saja bukunya yang demikian tebal. Saking gandrungnya para anak-anak ini, mereka bahkan bisa menghafal para tokoh, binatang, permainan hingga mantra dalam dunia Harry Potter, termasuk kedua anak saya.
Pasar memang selalu menyimpan banyak misteri. Segmentasi yang kita lakukan sendiri, apalagi tidak secara mendalam bisa saja salah sasaran ke segmen lain yang tidak kita perhitungkan dalam pasar. Beruntung jika yang dituju adalah segmen yang menguntungkan. Dulu rokok Marlboro ditujukan kepada para wanita, namun kini dikenal sebagai rokok para pria yang macho. Yamaha Mio yang ditujukan untuk segmen para ibu rumah tangga justru diminati para pria yang ingin bertransportasi secara simpel.
Namun sedikit di antara kita yang berpikir apa yang terjadi di balik fenomena Harry Potter, sebab kebanyakan hanya melihat dampaknya. Padahal banyak hal yang dapat dipelajari dari situ, lebih dari sekedar mengantar anak-anak kita membeli buku atau mengantri film Harry Potter. Bagi para marketer maupun inovator, kekuatan imajinasi yang dimiliki oleh Rowling sangat luar biasa. Sebagai pengarang yang terkenal pandai menyembunyikan berbagai petunjuk, yang membuat pembaca penasaran sehingga rela merogoh koceknya menanti jilid demi jilid untuk sesuatu yang berharga, hal ini sangat ‘inspirational’. Dengan berbekal “Magic” Harry Potter yang terkenal ampuh itu, Rowling memiliki kekuatan marketing yang tersebar di berbagai mancanegara.
Sebenarnya apa yang dialami oleh Rowling sama seperti para penemu lainnya yaitu mengembangkan imajinasi. Inovasi nyaris tidak mungkin dilakukan jika para inovator tidak memiliki imajinasi. Persoalannya bagaimana menimbulkannya sehingga menghasilkan sebuah produk yang diapresiasi konsumen? Dari sini ada beberapa hal yang dapat dipelajari.
Pertama, jangan berhenti sebatas imajinasi liar, artinya imajinasi itu harus bisa diberi frame sehingga bisa memberi arah bagi penemuan produk-produk baru. Hal inilah yang membedakan antara kita sebagai orang awam dengan mereka yang berhasil menemukan produk-produk inovatif.
Kedua, Dream and Action. Imajinasi yang telah diberi frame akan memudahkan kita membuat wujud fisik. Tentu saja proses ini tidak mudah, diperlukan riset dan eksperimen yang panjang. Menyadari hal ini, banyak perusahaan-perusahaan besar menghabiskan sekian persen dari pendapatannya untuk membiayai R&D mereka. Banyak pula di antara penulis dan pengarang menghabiskan banyak waktu mereka untuk membuat karya yang terbaik meskipun kemudian hasil yang diinginkan tidak sesuai harapan, namun mereka tidak pernah berhenti.
Ketiga, tiada kata akhir untuk sebuah penemuan. Kekuatan sebuah penemuan adalah “Persistensi”. Saat Wright bersaudara berimajinasi bahwa tidak hanya burung bisa terbang, mereka ngotot melakukan eksperimen meskipun trial and error terjadi dan orang di sekelilingnya menganggap bahwa keduanya kurang waras. Namun Wright bersaudara tetap bereksperimen dan sejarah kemudian membuktikan bahwa dengan penemuannya, ternyata terbukti bahwa memang bukan cuma burung yang bisa terbang.
Beberapa saat yang lalu, konsumen kita juga sempat digemparkan oleh buku Supernova dan Jakarta Undercover yang meskipun tidak bisa dibandingkan dengan euforia Harry Potter namun kedua karya itu jelas tidak lepas dari imajinasi para penulisnya yang selalu berpikir menciptakan karya terbaik bagi pasar dan konsumennya.
Demikian halnya teknologi ponsel yang keberadaannya kini bisa dinikmati di setiap segmen. Membuat informasi bisa diakses di mana-mana. Di negara maju teknologi ponsel dimanfaatkan oleh anak-anak dan remaja untuk mengirim dengan cepat pengalaman (experience) mereka kepada kawan-kawannya di manapun berada. Mereka yang piknik di
Apa yang dialami oleh anak-anak kita yang begitu menggandrungi cerita Harry Potter sebenarnya karena mereka merasa diajak ke suatu tempat yang ada dalam imajinasi mereka, meskipun disadari peristiwa itu tidak akan terjadi di lingkungan nyata.
Akhirnya, memasarkan produk yang mengandalkan imajinasi jelas memerlukan pendekatan yang berbeda dengan produk lain seperti dalam Classical Marketing. Hanya pemasar yang jelilah yang dapat memanfaatkan peluang seperti ini dengan baik
Tidak ada komentar:
Posting Komentar